Selasa, 19 Oktober 2010

Pemikiran Edward Said : Kolonilaisasi sebagai Bentuk Orientalisme Barat terhadap Dunia Timur

A.    Era Kolonialisme
Kolonialisasi adalah contoh paling nyata akan bukti kemunduran harga diri bangsa Timur. Pada waktu itu, selama berabad-abad umat Islam berhasil menaklukkan berbagai belahan dunia dari Eropa Timur, Afrika, Timur Tengah hingga Asia tunduk di bawah kekuasaan Islam. Namun, kemenangan itu kini hanya menjadi sejarah.  Diawali abad ke-19 umat Islam dipaksa tunduk di bawah Adikuasa kolonial Barat. Harapan terakhir umat Islam bertumpu pada kekhalifahan Turki Utsmani, Namun tahun 1942 kekhalifahan itu diruntuhkan Kemal attaturk, bangsa Turki sendiri yang menganti sistem khalifah menjadi negara repubrik yang sekular.
Runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani serta koalisi bersama Jerman di Perang Dunia, justru semakin memperparah keadaan, Sehingga praktik kolonialisasi Barat terhadap Timur semakin merajalela. Saudi Arabia berusaha membebaskan diri justru dipatahkan oleh Turki. Libanon dan Palestina dirampas Inggris, r tahun 1789 Napoleon datang ke Mesir, Belanda mendarat di Malaka tahun 1602. Inggris dan Perancis pun berebutan tanah kekuasaan di Afrika. Hingga pada tahun 1914, wilayah Timur menjadi lahan subur adikuasa Barat.  Pada Abad ke-18 Eropa mulai masuk menembus perekonomian dan politik. Sejalan dengan itu pula, negara-negara Eropa seperti Inggris, Belanda dan Perancis saling berebut tanah kekuasaan di negara-negara yang berpenduduk Islam. Seperti India, dan sebelah selatan timur Asia, termasuk Indonesia.
Abad ke-19, adalah abad di mana orientalis mencapai puncaknya dalam membentuk kebudayaan Barat. Orientalis menkaji hampir semua disiplin ilmu seperti eksotika, ekonomi, historis, dan teks politik. Secara umum, orientalis telah berhasil menjadi bagian signifikan dari kemajuan budaya dan peradaban Barat. Kolonialisme dan imperialisme di Indonesia adalah fakta sejarah sekian puluh tahun lalu yang tak bisa dibantah. Kolonialisme pada mulanya adalah penguasaan rempah rempah dan hasil bumi untuk memperkaya negeri penjajah dalam meluaskan kekuasaannya. Inggris, Portugis, Spanyol, Belanda, Perancis adalah sebagian dari negeri penjajah itu. Mereka menjarah dan menguasai. Tak salah jika tujuan penguasaan barat ke timur disimbolkan pertama dengan gold, selain gospel dan glory.
Pada fase selanjutnya, kolonialisme tak hanya berpusat pada rempah, nasi, dan sagu, melainkan juga penguasaan masyarakat atau hegemoni. Hegemoni berjalan pada wilayah kesadaran, bahwa dominasi tidak harus diatur dengan senjata dan kekerasan, tetapi juga bisa ditata dengan peraturan, undang undang, dan kebijakan, yang pada hakekatnya adalah menjajah tapi tak terasa dijajah. Sehingga masyarakat tanpa terasa terpaksa mengikutinya.
Kebijakan politik etis: edukasi, irigasi, dan transmigrasi, sebetulnya adalah sebentuk hegemoni yang diluncurkan kolonial Belanda untuk meredam bangsa pribumi. Politik etis dirancang agar tingkah laku inlander sesuai dengan apa yang dikehendaki. Selanjutnya, kolonialisme berganti menjadi orientalisme. Tepatnya, orientalisme adalah bentuk halus dari penguasaan gaya baru di jaman yang lebih maju. Edward W Said dalam magnus opus-nya, Orientalisme, menjelaskan tentang bagaimana barat mengatur kehidupan timur dengan melacak akar historis, etnografis, antropologis, bahasa, adat istiadat dan lain-lain, kemudian memberi stereotype terhadapnya.[1] Buku ini secara nyata menunjukkan bahwa Timur yang dikaji adalah hasil dari imajinasi geografis dari Barat sebagai objek pengkaji. Said menyebutnya sebagai Orientalis. dalam konteks keindonesiaan kita menyebutnya sebagai “ketimuran”.
Penguasaan kolonial Belanda dalam Sejarah Indonesia dicatat selama 350 tahun, hal ini membuktikan bahwa masa lalu Indonesia sebenarnya terletak di Belanda. Dengan telaten dan tekun, Belanda melalui para orientalis dan lembaga lembaga kajian timur secara intensif mengupas dan mempelajari aspek-aspek nusantata. Dalam hal ini Said, menemukan adanya hubungan antara pengetahuan kolonial, yang dilahirkan oleh orientalisme, dengan kekuasaan kolonial di negara-negara koloninya. Pada awalnya orientalisme ini seperti gerakan ilmu pengetahuan biasa yang mengkaji masyarakat, budayanya, struktur bahasanya, dll. Tetapi dalam praktiknya pengetahuan ini digunakan untuk melanggengkan kolonialisme. Bahkan Nyoman Kuta Ratna dalam buku Poskolonialisme Indonesia relevansi sastra menyebutkan 'orientalisme tidak berbeda dengan kolonialisme atau imperialisme itu sendiri'.[2] Kata Said 'orientalisme adalah gaya barat menundukkan timur. Sejarawan, antropolog, sosiolog, sastrawan dan ilmuwan barat dengan kekuatan wacana mengkonstruksi timur sebagai inferior'.[3] Konstruksi itulah yang masih tersisa dari proses pengulang-ulangan pengetahuan tentang 'inferioritas' timur oleh orientalisme dalam bentuk mental Inlander. Kolonialisme membentuk orientalisme ini seperti mengerahkan alam pikir negara kolonial untuk menundukkan warga pribumi yang dikoloni. Mereka memproduksi pengetahuan, kebiasaan-kebiasaan, gaya hidup, dan secara jangka pajang membangun nalar pribumi.
Hal inilah yang ingin dibongkar oleh Said. Meruntuhkan hegemoni teori pengetahuan barat yang ternyata tidak pernah netral, namun memuat struktur ideologi tertentu yang disusupkan dengan data-data  ilmiah. Mungkin Said ingin berpesan bahwa sudah saatnya dunia (kususnya dunia yang dikatakan timur, dunia ketiga atau negara berkembang) membuka mata akan kepalsuan metodologis barat. Dibanding terlalu memuja barat, akan lebih baik meletakkannya dalam persoalan yang lebih kritis.
Pengalaman dengan kolonialisme menyisakan banyak hal yang berubah dari kebudayaan, tradisi, nalar dan sejarah masyarakat yang dikoloni. Karena itu, lepas dari kolonialisme secara fisik bukanlah berarti bangsa Indonesia merdeka seratus persen, tetapi malah harus berusaha untuk keluar dari belenggu kolonialitas, atau minimal sisa-sisa dari kolonialisme.

B.     Pasca Kolonialisme (Post-Kolonialisme)
Negara bangsa yang baru merdeka hanya membagikan buah secara selektif dan timpang kepada rakyat. Digulingkannya pemerintahan kolonial tidak secara otomatis membawa perubahan ke arah perbaikan status perempuan, kelas pekerja, atau petani di kebanyakan negara jajahan. Oleh sebab kenyataan bahwa “banyak hal yang belum selesai” dari proses pemerdekaan kita maka berkembanglah study poskolonial. Bahwa perjumpaan dengan kolonialisme menghasilkan peruabahn dalam struktur kebudayaan dan nalar suatu masyarakat yang pernah dijajah. Dan berkembangnya suatu pendekatan baru negara kolonial untuk melanjutkan imperialismenya dalam bentuk yang lain, yakni penguasaan pikiran.
Sebagaimana istilah-istilah akademis lainnya yang kerap menggunakan istilah post seperti post-modernisme, post-strukturalisme, maka post-kolonialisme juga berarti “setelah” kolonialisme. Semangat wacana post-colonial hendak menunjukkan kepada Barat (sebagai penjajah) perlawanan negara non-Barat sebagai bekas koloni. Jika wacana postcolonial ditelaah, maka secara akademis ide-idenya banyak dipengaruhi oleh kritik-kritik post-strukturalisme, lewat dekonstruksi-nya. Upaya dekonstruksi itu menjadi penting, sebagaimana dikutip Madhan Sarup, yakni sebagai upaya untuk:
“… menemukan teks marginal yang menjanjikan, menyingkap, membongkar momen yang tidak dapat dipastikan dengan alat penanda yang positif, membalikkan hierarki yang ada, agar dapat diganti;, agar dapat membangun kembali apa yang selalu telah tertulis.”[4]
Dengan dekonstruksi, postkolonialisme menjadi kritik atas “kerangka pikiran” Barat yang mapan, superiorior, maju, beradab terhadap dunia non-Barat yang terbelakang sehingga mesti diarahkan, dicerahkan, diterjemahkan menurut standar “humanisme Barat”. Upaya pem-barat-an ini dilakukan secara lembut, dari kurikulum pendidikan di sekolah hingga narasi ekonomi-politik-globalisasi internasional oleh imperialisme. Eksploitasi intelektual dan mental “Dunia Ketiga” diarahakan dengan sistematis oleh “Dunia Pertama”. Misalnya dengan mengontrol buku teks, majalah, surat kabar, televisi, dan media lainnya. Media Barat mencuci otak negara bekas jajahan. Bagaimana MTv dan pop culture lainnya dengan mudahnya masuk dan melakukan penetrasi ke dalam relung-relung kesadaran anak muda di negara Dunia Ketiga.
Contoh kasus dalam masyarakat Indonesia yaitu hiburan di berbagai media elektronik Indonesia, beberapa tahun terakhir ini berkembang keistimewaan kepada wajah Indo atau campuran. Para artis yang punya wajah indo menjadi idola publik di dunia entertainment. Ini menunjukkan bahwa mentalitas kolonial masih melekat dalam wacana budaya Indonesia.  Selain itu, akhir-akhir ini juga berkembang keistimewaan penguasaan bahasa Inggris ketimbang bahasa lokal ataupun bahasa Indonesia. Kondisi ini pun tidak jauh berbeda dengan zaman kolonial Belanda, di mana bahasa Belanda lebih istimewa dan menunjukkan status sosial dibandingkan bahasa Melayu (Indonesia). Terbukti misalnya menjadi bahan perdebatan di Budi Utomo, apakah setiap pembicaraan formal dalam organisasi mesti menggunakan bahasa Belanda.
Kota besar di Indonesia kini sekolah-sekolah, baik negeri ataupun swasta, berlomba-lomba menjadi sekolah internasional yang menggunakan bahasa Inggris. Alasannya sederhana, anak-anak yang unggul sudah semestinya menguasai bahasa Inggris untuk dapat bersaing di kancah internasional. Mental berikutnya adalah kecenderungan pop culture anak muda, yang mengarah pada music rock, rap, hip metal, punk,  menggunakan pakaian dengan merek internasionalisasi merek seperti Nike, Adidas dan lain sebagainya,  makanan (Coca Cola), nongkrong di kafe, dan gaya hidup kebarat-baratan lainnya.
Pembongkaran bagaimana bekerjanya imperialisme Barat (Eropa dan Amerika) terhadap  dunia Islam, Timur Tengah dan Timur hingga kini misalnya, oleh Edward Said menjadi bukti akan hal ini. Karya besarnya Orientalism menunjukkan bagaimana ia men-dekonstruksi perilaku kultural dan epistemologis Barat yang ingin terus menguasai Timur. Kerja keras Said terutama karena upayanya membongkar muatan idiologis di balik konsep Timur atau Orient yang direproduksi oleh Barat.
Menurut Said, “Timur” yang primitif dipakai sebagai cermin untuk membesarkan citra Eropa sebagai pelopor peradaban. Selain itu, mitos dan stereotipe tentang Timur dimanfaatkan sebagai sarana pembenaran Eropa untuk melakukan kolonialisasi: menguasai, menjinakkan, dan mengontrol keberadaan the others. Upaya pelanjangan politik jahat orientalisme yang dilakukan Said merangsang kesadaran baru bagi negara-negara berkembang untuk bangkit melawan. Sejak tahun 80-an para intelektual terlibat dalam diskusi intensif mempertimbangkan gagasan Said yang mengkritik bekerjanya kolonialisme modern.
Study poskolonial dimaknai sebagai suatu perlawanan terhadap dominasi kolonialisme dan warisan kolonialisme. Pada masa ini era globalisasi harus diakui telah membawa pengaruh luar biasa terhadap perkembangan teknologi, tak terkecuali bagi industri komunikasi modern. Dampak-dampak itu adalah subversi kebudayaan dan ideologi Barat. Dampak nyata globalisasi media adalah sistem kepemilikan global yang menjadi tren industri media massa modern. Kekuatan modal asing mampu berpenetrasi dalam struktur media lokal atau nasional yang pada akhirnya berpengaruh pada masalah transmisi kebudayaan global ke tingkat lebih rendah dalam hal ini nasional dan lokal. Ancaman media global tidak berhenti pada masalah sosial politik saja tetapi masuk dalam nilai-nilai budaya masyarakat.
Orientalisme menggabungkan kekuasaan dengan pembentukan ilmu pengetahuan kolonial. Oleh karena kolonialisme adalah pemaksaan kekuasaan secara penuh terhadap tanah jajahan, maka orientalisme melibatkan satu program pembentukan cara pikir yang bukan saja untuk kepentingan kolonial tetapi juga dapat melahirkan ilmu kolonial. Budaya masyarakat jajahan dirancang sedemikian rupa supaya sesuai dengan keinginan penguasa kolonial. Budaya masyarakat di tanah jajahan itu mengikuti skema terori evolusi, dimana budaya masyarakat yang satu dengan yang lainnya dibangun menurut kelas evolusi. Dalam konteks ini budaya nusantara yaitu sebuah entitas yang sangat kecil dilihat sebagai penyerap unsur-unsur budaya yang lebih tinggi dan besar. Dalam hal ini masyarakat sekarang ini adalah bentuk dari penanaman alam pikir kolonial barat, dan lupa akan identitasnya sendiri sebagai masyarakat nusantara.

Dafrat Referensi

Ashcroft, Bill dan Pall Ahluwaliya. 2001. Edward Said. Taylor & Francis e-Library dalam www.literature.routledge.com.

Sarup, Madhan. 2004. “Posstrukturalisme dan Posmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis”. Yogyakarta: Jendela. hal 85-86 dalam  www.nasirsiregar.com Nalar dan Praktek Post-kolonial di Indonesia Oleh Nasir diakses 2 Juli 2010 pukul 21.35.

Ratna, Nyoman Kutha. 2008. “Post-Kolonialisme Indonesia, Relevansi Sastra”. Yogyakarta : Pustaka Pelajar,. Hal. 27 dalam  www.carabaca.blogspot.com Sastra Poskolonial, Sastra Pembebasan Oleh: Muhammad Ridha. Diakses 2 Juli 2010 pukul 21:43.

Said, Edward. 1979. Orientalism. New York : Vintage Books dalam www.edelmensch.blogspot.com diakses 2 Juli 2010 pukul 22:35.


Disarikan dari berbagai sumber


[1] Said, Edward. 1979. Orientalism. New York : Vintage Books dalam www.edelmensch.blogspot.com  diakses 2 Juli 2010 pukul 22:35.
[2] Nyoman Kutha Ratna. 2008. Post-Kolonialisme Indonesia, Relevansi Sastra. Yogyakarta :Pustaka Pelajar,. Hal. 27 dalam  www.carabaca.blogspot.comSastra Poskolonial, Sastra Pembebasan” Oleh: Muhammad Ridha. Diakses 2 Juli 2010 pukul 21:43.
[3] Ibid. hal. 32
[4] Sarup, Madhan. 2004. Posstrukturalisme dan Posmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis. Yogyakarta: Jendela. hal 85-86 dalam  www.nasirsiregar.comNalar dan Praktek Post-kolonial di Indonesia” Oleh Nasir diakses 2 Juli 2010 pukul 21.35.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar