Selasa, 20 April 2010

Pemikiran Vandana Shiva tentang Ekofeminisme dan Industrialisasi serta Refleksinya di Papua Indonesia


Vandana Shiva lahir di Dehradun, Uttarakhand, India pada tanggal 5 Nofember 1952 dan sekarang bertempat tinggal di New Delhi.  Shiva adalah seorang filsuf, aktivis lingkungan, penulis buku dan penulis makalah.  Shiva juga memiliki peranan penting dalam gerakan ekofeminis global.  Shiva menerima gelar Ph.D pada jurusan filsafat University of Western Ontario, Kanada.

A.   Pemikiran Vandana Shiva mengenai Ekofeminisme dan Industrialisasi
Ekofeminisme merupakan salah satu cabang feminis gelombang ketiga yang mencoba menjelaskan keterkaitan alam dan perempuan terutama yang menjadi titik fokusnya adalah kerusakan alam yang mempunyai keterkaitan langsung dengan penindasan perempuan.  Menurut Vandana Shiva, pembangunan yang dialami Dunia Ketiga melahirkan mitos yang semakin menempatkan warganya pada kondisi tidak adil.  Pembangunan yang dipraktikkan negara-negara Barat selalu menggunakan kekerasan psikis, ekonomi, dan fisik.[1]  Pandangan Shiva tersebut bukan tidak beralasan, karena pembangunan yang dilakukan manusia saat ini disertai dengan perusakan lingkungan.  Contohnya adalah dalam hal pembangunan ekonomi, untuk membangun ekonomi suatu negara maka dibutuhkan industri-industri sebagai penyerapan tenaga kerja.  Pembangunan industri tersebut apabila tidak diatur dengan baik, dari segi lokasi, jenis barang produksi maupun dampak lingkungan yang diakibatkan, maka akan berdampak terhadap kerusakan lingkungan.
Menurut Shiva, manusia adalah penyebab ambruknya kualitas bumi, manusia dinilai terlampau asik memuaskan syahwatnya tanpa mempedulikan akibat pada bumi.  Kerusakan lingkungan disebabkan oleh mental dan nalar antroposentris yang tidak bersahabat dengan alam. Antroposentrisme yang merusak justru ditahbiskan kesucian epistemologinya oleh ilmu pengetahuan.  Ilmu pengetahuan modern ialah kabar buruk dari ideologi patriarkal barat.[2]  Eksploitasi alam yang dilakukan oleh manusia selama ini sepertinya tidak beraturan, dimana semakin banyak kekayaan alam yang dimiliki oleh suatu negara, maka akan semakin rusak pula kondisi alam negara tersebut.  Ilmu pengetahuan yang diciptakan dimaksudkan untuk kepentingan serakah manusia dengan memanfaatkan isi alam sebanyak-banyaknya.  Ilmu pengetahuan modern yang dibawa oleh barat adalah untuk kemajuan dan kepentingan manusia tanpa memerhatikan efek yang ditimbulkan terhadap alam.